Hukum halal dan haram dalam Islam telah diatur dengan sangat jelas. Hal
ini merupakan salah satu karunia Allah dan bukti nyata atas kebenaran
risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bila
tidak, mungkin akan banyak dijumpai hal-hal yang saling bertolak
belakang dalam masalah hukum dan kaidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
بَلْ كَذَّبُوا بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ فَهُمْ فِي أَمْرٍ مَّرِيجٍ
"Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu
datang kepada mereka, maka mereka berada dalam kadaan kacau-balau" [Qaaf
: 5]
Di antara makna kesempurnaan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam telah dianugerahi kemampuan mengungkapkan dengan
bahasa verbal, sederhana tetapi padat dan jelas isi kandungannya.
Sebagai contoh mengenai kaidah umum dalam masalah perintah dan larangan;
bahwa tidaklah suatu perintah atau larangan, melainkan di dalamnya
mengandung kemaslahatan dan manfaat, baik ditinjau dari sisi agama
maupun kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
"(Ia) yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk" [al A’raf : 157]
Pada pembahasan masalah mu’amalah dan jual beli, hukum asalnya adalah
boleh dan halal. Tidak ada larangan dan tidak berstatus haram, sampai
didapatkan dalil dari syariat yang menetapkannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
"Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba". [al Baqarah : 275].
Sepanjang ridha, kejujuran, keadilan melekat dalam suatu proses
mu'amalah dan jual beli, tanpa ada unsur kebatilan dan kezhaliman,
bentuk transaksi itu diperbolehkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu". [an Nisa : 29].
Syariat Islam dengan hikmah dan rahmatnya, mengharamkan apa yang
membahayakan terhadap agama dan dunia. Kaidah penting yang kami angkat
pada pembahasan kali ini berhubungan dengan riba, penipuan, dan
perjudian, disertai dengan penjelasan kaidah-kaidah penting lainnya.
KAIDAH PERTAMA : Tentang Riba
Al Qur`an, hadits dan ijma ulama Islam telah menetapkan haramnya riba.
Ketetapan ini bersesuaian dengan asas keadilan dan qiyas (analogi) yang
shahih. Yang dimaksud dengan riba adalah, setiap tambahan yang ada dalam
barang-barang tertentu [1]. Riba terbagi menjadi dua, bisa juga
menjadi tiga. Yaitu: riba fadhl, riba nasiah dan riba al qordh.
Riba fadhl (tambahan), yaitu jual beli uang dengan uang, makanan dengan
makanan, dengan ada penambahan di salah satu dari kedua barang tersebut
[2].
Misalnya jual beli dua barang yang ditakar (ditimbang) dengan berbagai
tingkatan kualitasnya, antara satu dengan yang lain tidak sama takaran
atau timbangannya. Padahal dalam jual beli ini harus memenuhi dua
syarat, yaitu sama persis ukuran (timbangnya) dan diserahkan dalam satu
waktu atau tempat transaksi (spontan). Konkretnya, jual beli 1 kg kurma
harus ditukar dengan 1 kg kurma, karena jenisnya sama maka harus serupa
pula timbangannya. Dan tidak boleh 1 kg kurma ditukar dengan 2 kg kurma
walaupun berbeda kualitasnya. Selama berada dalam satu jenis, maka harus
sama takaran (timbangannya).
Riba nasi-ah, definisinya, mengakhirkan penyerahan barang (setelah
transaksi) dalam setiap jenis barang yang serupa illahnya (pangkal
alasan dari suatu hukum), sebagaimana illah yang terdapat dalam riba
fadhl.[3]
Riba ini sangat menyusahkan orang dan diharamkan. Riba ini merupakan
jual beli antara dua macam barang yang ditakar atau ditimbang, yang satu
diberikan sekarang dan yang lainnya diberikan pada lain waktu sesuai
kesepakatan. Baik antara jenis yang sama seperti gandum dengan gandum,
atupun berbeda jenisnya semisal gandum dengan kurma, atau kurma dengan
kismis.
Setiap yang berlaku dalam riba fadhl dalam jenis barangnya, berlaku juga
untuk riba nasi-ah, akan tetapi, terkadang yang tidak diperbolehkan
dalam riba nasi-ah diperbolehkan dalam riba fadhl (dengan berbeda
selisih takaran/timbangan) bila berlainan jenis. Missal, jual beli kurma
2 kg dengan kismis/anggur kering 1 kg ( berbeda jenisnya) dibolehkan
apabila diberikan di tempat transaksi, langsung antara penjual dan
pembeli sebelum berpisah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبا أَضْعَافاً
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda" [al Baqarah:130]
Dahulu, orang-orang Jahiliyah bila telah jatuh tempo pembayaran hutang,
orang yang menghutangkan berkata kepada orang yang berhutang: "bayar
sekarang atau engkau membayarnya nanti tetapi harus dengan tambahan dari
jumlah nominal hutang”. Baik dengan bahasa terang-terangan ataupun
dengan ungkapan kiasan (halus yang tendensius), hukumnya haram.
Riba al qord, gambarannya adalah seseorang yang menghutangkan uang
kepada orang lain dengan mensyaratkan tambahan manfaat (jasa). Sebagai
contoh, Fulan A menghutangkan kepada Fulan B dengan syarat B sudi
meminjamkan rumah atau kendaraan, atau setiap pekan (bulan) beras 1 kg
kepada A.
Hal ini termasuk riba, dan bukan sekedar hutang. Karena tujuan
menghutangkan ialah untuk berbuat baik dan menebar kasih-sayang kepada
sesama. Perbuatan ini berlawanan dengan tujuannya. Bahkan hakikatnya,
praktek ini merupakan jual beli uang dengan uang, dengan tenggang tempo,
riba yang ada diambilkan dari manfaat yang telah menjadi kesepakatan
bersyarat.
Ketiga macam riba di atas diharamkan oleh Allah dan RasulNya, karena hal
itu merupakan kezhaliman dan bertentangan dengan keadilan. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ.
"Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya". [al Baqarah :
279]
Bila ada yang mengatakan "bagaimana hal ini bisa dikatakan sebagai
kezhaliman, padahal orang ini sudah rela dengan kesepakatan yang terjadi
untuk membayar dengan sejumlah kelebihan tertentu?"
Maka jawabnya bisa ditinjau dari dua sisi.
Pertama, harus dipahami hakikat kezhaliman yang ada adalah mengambil
harta dengan tanpa hak (alasan yang diperbolehkan syariat). Seseorang
yang tidak bisa membayar karena kesusahan, seharusnya ditunda
pembayarannya. Mengambil tambahan dari jumlah yang semestinya ia ambil
(nominal hutang, Red) adalah kezhaliman. Selain itu, keridhaan yang ada
dalam diri seseorang harus bersesuaian syariat. Bila syariat melarang
walaupun ia ridha, maka kerelaannya tidak memiliki arti.
Kedua, pada hakikatnya ia tidak ridha atau terpaksa untuk menerimanya.
Karena ia khawatir bila tidak diberikan pinjaman. Orang yang berakal
tidak akan ridha dengan kewajiban membayar uang yang berlipat ganda yang
tidak pernah ia manfaatkan.
Juga dapat dikatakan, ia telah berbuat zhalim kepada dirinya sendiri,
karena hakikatnya ia telah melemparkan dirinya kepada kebinasaan dan
azab akhirat, karena dengan sengaja telah melakukan apa yang diharamkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Gambaran kezhaliman ini sangat jelas dalam praktek riba nasi-ah.
Sedangkan riba fadhl diharamkan sebagai upaya menutup akses menuju riba
nasi-ah.
Jenis Barang Yang Masuk Dalam Kategori Riba
Tidak setiap barang pada transaksi yang berbeda jumlahnya dikatakan
riba. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan enam
macam yang dikatakan riba, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, sejenis dengan sejenisnya, saling sama jumlahnya, tangan
dengan tangan (langsung diserahkan saat transaksi terjadi). Bila berbeda
jenis-jenis ini, maka jual sekehendak kalian, tetapi harus diserahkan
saat transaksi.[4]
Keenam macam barang ini telah disepakati masuk dalam kategori riba.
Kemudian para ulama berbeda pendapat, apakah barang selainnya dapat
diqiaskan kepada keenam macam tersebut apa tidak?
Jumhur ulama berpendapat, bahwa selainnya dapat diqiaskan kepada keenam
macam tersebut, bila sesuai dengan illah (alasan) yang ada. Di antara
mereka ada yang berpendapat bahwa illah emas dan perak dalam hadits
adalah tsamaniyyah (alat tukar) sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh
Shalih al Fauzan dan as Sa’di.
Sedangkan Syaikh al ‘Utsaimin memiliki pandangan, bahwa pendapat yang
paling dekat (kebenaran)nya bahwa illah yang terkandung dalam emas dan
perak karena dzat emas dan peraknya, baik yang berupa mata uang atau
bukan.[5]
Adapun illah yang terdapat dalam gandum, tepung, kurma dan garam adalah sebagai barang yang ditakar dan makanan (dikonsumsi).[6]
Jadi dapat disimpulkan, segala jenis barang yang illahnya sama dengan
keenam macam tersebut, bisa dimasukkan ke dalam masalah riba.
Contoh dalam riba fadhl. Bila barang yang sama jenis dan macamnya,
semisal beras ditukar dengan beras, maka dalam jual belinya harus
memenuhi dua syarat, yaitu sama ukurannya dan diberikan di tempat akad
serta dalam satu waktu, tidak boleh barang yang satu diberikan sekarang
sedangkan barang lainnya diserahkan keesokan harinya. Jadi 1 kg beras
tidak boleh ditukar dengan 2 kg beras. Walaupun berbeda kualitasnya.
Bila ada yang mengatakan, mengapa hal ini dilarang, padahal perbedaan
kualitas mempengaruhi harga? Maka jawabnya, itulah Islam yang hukumnya
penuh dengan segala kesigapan untuk menutup segala celah penipuan dan
perbuatan aniaya lain yang lebih besar. Hal seperti ini pernah terjadi
pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yakni, ada
seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang menjual kurma jenis jelek dengan jumlah yang lebih banyak dengan
kurma berkualitas baik dengan takaran yang lebih sedikit. Kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya untuk
mengembalikannya, seraya berkata: “Ini adalah riba,” kemudian beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menjual terlebih
dahulu kurma yang jelek dengan dirham (uang), kemudian baru dibelikan
(dengan dirham tersebut) kurma yang baik.[7]
Oleh karena itu, bila diketahui jenis dan macamnya sama, maka sebaiknya
salah satunya diuangkan terlebih dahulu, baru kemudian ditukarkan dengan
yang lebih rendah atau tinggi kualitas ataupun banyaknya, untuk lebih
menghindari hal-hal yang mengandung unsur riba’.
Bila berbeda jenis barang, tapi masih termasuk barang yang berkategori
riba, maka boleh berbeda ukurannya, dengan syarat harus diserahterimakan
dalam satu tempat dan tempo ketika transaksi.
Tatkala berbeda jenisnya, baik kedua-duanya tidak masuk kategori riba
atau hanya salah satunya saja, maka boleh berbeda takarannya serta dapat
dijual diluar waktu dan tempat transaksi tersebut.
Dr. Abdullah ‘Aziz Badawi berkata,"Apabila enam jenis (termasuk barang
yang diqiaskan kepadanya, pent) dijual dengan barang yang berbeda jenis
dan illahnya, misalnya emas dengan gandum, perak dengan garam, maka
dibolehkan terjadinya selisih jumlah (tafadhul) dan dapat diakhirkan
penyerahannya (nasi-ah).[8]
Dapat kita simpulkan, bahwa dalam masalah jual beli dapat di bagi menjadi empat macam.
1. Bila jual beli dalam satu jenis barang (jenis, macam dan illahnya
sama) yang berkategori riba, maka diharamkan tafadhul (tambahan atau
selisih jumlah barang) dan nasi-ah (menunda penyerahan barang).
Misalnya, kurma dengan kurma, maka harus sama jumlahnya dan tidak boleh
nasi-ah.
2. Bila dalam dua jenis yang serupa illah riba fadhlnya (misal, kurma
dan gandum illahnya sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan),
maka diharamkan nasi-ah dan dibolehkan terjadinya tafadhul. Misal, kurma
2 kg dengan gandum 1 kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini boleh
tafadhul, tapi dilarang nasi-ah.
3. Bila di antara dua jenis berbeda yang masih dalam kategori riba yang
tidak serupa illahnya (jenisnya berbeda tapi masih dalam jenis barang
yang masuk dalam kategori riba), maka boleh tafadhul dan nasi-ah. Misal,
kurma dengan emas. Illah kurma takaran dan makanan, illah emas karena
emas barang yang sangat bernilai.
4. Bila di antara barang yang tidak dalam kategori riba (baik salah
satunya atau keduanya), maka boleh nasi-ah dan tafadhul. Semisal, emas
dengan pakaian, atau pakain dengan buku.
KAIDAH KEDUA : Haramnya Mu’amalah Yang Mengarah Kepada Tipu Daya dan Bahaya
Al Qur`an, as Sunnah dan kaum Muslimin sepakat tentang haramnya judi. Judi atau taruhan ada dua macam.
Yaitu taruhan yang berbentuk saling menjatuhkan atau dengan jaminan
tertentu. Semuanya diharamkan oleh syari’at. Kecuali bila digunakan
sebagai wasilah (media) dalam hal ketaatan dan untuk berjihad di jalan
Allah. Contohnya, taruhan dalam lomba berkuda, menyetir dan memanah.
Macam kedua, bentuk taruhan dalam bermu’amalah sebagaimana yang telah
Nabi larang terhadap segala jenis jual beli yang mengandung penipuan.
Karena bahaya dan kerugian yang dapat dialami oleh kedua belah pihak.
Para ahli fiqih memberikan syarat dalam transaksi agar harga dan barang
harus jelas untuk menghindari tipu muslihat yang mungkin terjadi.
Misal dari praktek ini antara lain: jual beli janin yang masih di dalam
perut induknya, jual beli dengan cara mulamasah (siapa yang telah meraba
atau memegang barang, maka langsung dianggap telah membeli), munabadzah
(dengan melempar atau saling melempar antara keduanya dengan lemparan
batu, maka yang terkena itulah yang harus dibeli atau dijual), dan
sebagainya.
Di antara praktek jual beli yang unsur penipuannya relatif kecil atau
samar, para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya. Walaupun
mereka sepakat dengan kaidah ini. Perbedaan yang terjadi dikarenakan
berbedanya sisi pandang dalam menyikapi permasalahan yang muncul. Apakah
ia masuk dalam kaidah ini, ataukah tidak? Yang benar adalah,
dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat, apakah itu merupakan penipuan
ataukah bukan? Contohnya, perkataan “aku menjual barang ini seharga para
pedagang yang lain”, atau dalam jual beli kacang yang masih dalam
tanah, dan sebagainya.
Karena itu, disyaratkan juga dalam masalah jual beli, mampu untuk
menghadirkan barang kepada pembeli. Ini semua untuk menghindari tipu
daya yang mungkin dilakukan.
Contoh lain dalam kaidah ini, jual beli antara dua barang yang satu
dalam bentuk takaran yang jelas, yang lainnya menggunakan perkiraan.
Karena bisa jadi, apa yang dikira-kira lebih sedikit dari hak yang
seharusnya diterima, atau bisa jadi lebih banyak dari yang semestinya.
Hikmah yang terkandung dari haramnya taruhan atau undian ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ
اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)".[al Maidah : 90-91]
KAIDAH KETIGA : Jual Beli Berupa Penipuan
Transaksi model ini diharamkan di dalam Kitabullah, Hadits dan Ijma
ulama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa
yang berbuat tipu muslihat, maka ia bukan dari golongan kami.”
Tipu muslihat yang dimaksud, yaitu mencakup segala jenis mu’amalah, baik
dalam perdagangan, musyarokah (syarikat) dan sebagainya. Baik dengan
cara penyamaran atau dengan menyembunyikan kondisi barang yang
sebenarnya, ia poles luarnya sehingga menjadi kelihatan baik dan bagus,
padahal di dalamnya atau barang lainnya penuh dengan cacat.
KAIDAH KEEMPAT : Ridha Syar’i Dari Kedua Belah Pihak
Kaidah ini berlandaskan al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ ulama. Kaidah ini
berlaku dalam segala jenis, baik dalam akad transaksi jual beli,
sewa-menyewa, musyarokah, hadiah, wakaf, dan sebagainya.
Ridha seseorang dapat diketahui melalui perkataannya, atau segala
sesuatu yang mengisyaratkan sikap ridhanya, baik lisan ataupun tindakan.
Kata ridha diiringi dengan sifat syar’i. Tujuannya, dimaksudkan untuk
meniadakan ridha anak kecil, orang dungu, orang gila dan orang-orang
yang tidak dibebani dengan kewajiban hukum. Karena ridha mereka tidak
berarti, dan setiap transaksi mereka diwakilkan oleh walinya.
Penting untuk diketahui, bahwa ridha yang dianggap benar dan sah dari
kedua belah pihak yang bertransaksi, harus bersesuaian dengan syari’at.
Bila syari’at melarang transaksi tersebut, maka tetap haram walaupun
manusia meridhainya.
KAIDAH KELIMA : Akad Harus Berasal Dari Pemilik Barang, Pemiliki Hak atau Wakilnya
Kaidah ini berdasarkan dalil al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ serta Qias yang
shahih untuk berlaku adil. Pemilik barang atau jasa dan wakilnya,
merekalah yang berhak untuk menentukan segalanya, baik untuk meneruskan
transaksi atau membatalkannya.
Atas dasar itu, seseorang yang ingin menjual barang, meminjamkan,
menghadiahkan, mewasiatkan, mewakafkan, atau menggadaikannya dan
sebagainya, tetapi dia bukan sebagai pemiliknya, maka mu’amalah tersebut
tidak sah, sampai mendapatkan ia izin dari pemiliknya.
Masih berkaitan dengan kaidah ini, seseorang tidak berwenang dengan
barang yang belum sempurna akad transaksinya, sampai ia telah resmi
menjadi pemilik barang tersebut, baik dengan meletakkan barang di
rumahnya atau dalam genggaman tangannya, dan tanda kepemilikan lainnya.
Contoh lain dari kaidah ini, pemilik barang yang masih tersangkut dengan
hak orang lain. Misalnya, barang yang digunakan untuk jaminan atau
barang yang merupakan milik patungan dengan orang lain, maka pemilik
barang tidak boleh secara mutlak untuk bertransaksi, kecuali setelah
mendapat izin dari syarikatnya atau yang memiliki kepentingan dengan
barang tersebut.
KAIDAH KEENAM DAN KETUJUH : Akad Yang Mengandung Unsur Meninggalkan
Perkara Wajib Atau Perbuatan Haram, Maka Transaksinya Menjadi Haram Dan
Tidak Sah.
Hal ini telah disebutkan di beberapa tempat. Semisal yang telah
disebutkan dalam surat al Jumu’ah tentang haram dan tidak sahnya akad
jual beli yang dilakukan setelah adzan Jum’at bagi laki-laki yang telah
diwajibkan shalat Jum’at. Setiap amalan yang menyibukkan dia sehingga
meninggalkan kewajiban, maka amalan tersebut haram. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا
أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian
maka mereka itulah orang-orang yang rugi" [al Munafiqun : 9].
Demikian juga, jual beli yang digunakan untuk yang haram, seperti anggur
yang digunakan untuk minuman keras, senjata yang digunakan untuk
merampok atau membunuh, maka diharamkan dan tidak sah.
Wallahu a’lam bish shawab.
Maraji` :
- Fiqh wa Fatawa al Buyu`, karya as Sa’di, Fatawa wa Qawaid Tatallaqu bi Ahkami al Buyu`, hlm. 241-263. Cet. Adhwa-u as Salaf.
- Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh al ‘Utsaimin, Jilid 8, Cet. Muassasah Salam.
- Al Mulakhas al Fiqhi, Shalih al Fauzan, Jilid 2, Cet. Daar Ibn al Jauzi.
- Al Wajiz, ‘Abdul ‘Azhim Badawy, Cet. Ibn Rajab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Al Mulakhkhash al Fiqhi (2/28).
[2]. Al Wajiz, hlm. 347
[3]. Asy Syarhu al Mumti’ (8/328).
[4]. Mukhtashar Shahih Muslim, 949.
[5]. Asy Syarhu al Mumti’ (8/390).
[6]. Al Mulakhkhas al Fiqhi (2/29).
[7]. Muttafaqun ‘alaih.
[8]. Al Wajiz, 349.
[9]. Asy Syarhu al Mumti’ (8/327-328).
http://almanhaj.or.id/content/2631/slash/0/kaidah-halal-haram-dalam-jual-beli/
#JawaBarat #Bandung #BandungBarat #Bekasi #Bogor #Ciamis #Cianjur #Cirebon #Garut #Indramayu #Karawang #Kuningan #Majalengka #Pangandaran #Purwakarta #Subang #Sukabumi #Sumedang #Banjar #Bekasi #Cimahi #Cirebon #Depok #Sukabumi #Tasikmalaya #JawaTengah #Banjarnegara #Banyumas #Batang #Blora #Boyolali #Brebes #Cilacap #Demak #Grobogan #Jepara #Karanganyar #Kebumen #Klaten #Kudus #Magelang #Pati #Pekalongan #Pemalang #Purbalingga #Purworejo #Rembang #Semarang #Sragen #Sukoharjo #Tegal #Temanggung #Wonogiri #Wonosobo #Magelang #Pekalongan #Salatiga #Semarang #Surakarta #Tegal #JawaTimur #Bangkalan #Banyuwangi #Blitar #Bojonegoro #Bondowoso #Gresik #Jember #Jombang #Kediri #Lamongan #Lumajang #Madiun #Magetan #Malang #Mojokerto #Nganjuk #Ngawi #Pacitan #Pamekasan #Pasuruan #Ponorogo #Probolinggo #Sampang #Sidoarjo #Situbondo #Sumenep #Sumenep #Tuban #Tulungagung #Batu #Blitar #Malang #Mojokerto #Pasuruan #Probolinggo #Surabaya #Jakarta #KepulauanSeribu #Jakarta #Barat #Pusat #Selatan #Timur #Utara #banten #Lebak #Pandeglang #Serang #Tangerang #Cilegon #Serang #Tangerang #TangerangSelatan #Bantul #GunungKidul #KulonProgo #Sleman #Yogyakarta #Sumatera #Aceh #BandaAceh #SumateraUtara #Medan #SumateraBarat #Padang #Riau #Pekanbaru #Jambi #SumateraSelatan #Palembang #Bengkulu #Lampung #BandarLampung #KepulauanBangkaBelitung #PangkalPinang #KepulauanRiau #TanjungPinang #Kalimatan #KalimantanBarat #Pontianak #KalimantanTengah #PalangkaRaya #KalimantanSelatan #Banjarmasin #KalimantanTimur #Samarinda #KalimantanUtara #TanjungSelor #Sulawesi #SulawesiUtara #Manado #SulawesiTengah #Palu #SulawesiSelatan #Makassar #SulawesiTenggara #Kendari #SulawesiBarat #Mamuju #Gorontalo #SundaKecil #Bali #Denpasar #NusaTenggaraTimur #Kupang #NusaTenggaraBarat #Mataram #lombok